EKPOL No.2
TEORI SRAFFA , NEO-KLASIK DAN KARL MARX
(TEORI NILAI TENAGA KERJA)
TEORI MODEL SRAFFA
Teori
nilai kerja yang dikembangkan karl Marx yang pertama menjelaskan ekonomi
politik tentang "upah, harga, dan laba". Dalam buku "Political
Economy A modern Appoarch" yang ditulis oleh Robin Hahnel,
di dalamnya menjelaskan piero sraffa menyajikan kerangka ekonomi alternatif
yang menghindari ketidak konsistenan, tidak logis dan penyimpangan dalam teori
nilai kerja, sehingga dengan mudah untuk memasukan tingkat upah yang berbeda
untuk berbagai jenis tenaga kerja dan sewa dalam berbagai jenis sumber
daya alam.
Model
sraffa sering disebut dengan pendekatan surplus yaitu hanya satu bagian dari
penjelasan ekonomi politik dalam penentuan upah, laba, sewa dan
harga. Pendekatan surplus (model sraffa) tidak menjelaskan mengapa konsumen
memiliki preferensi, atau yang menentukan kekuatan relatif pengusaha, pekerja,
dan pemilik sumber daya. Kerangka kerja Sraffa menantang prediksi para
ekonom neoklasik berapa banyak pemilik tanah dan kapitalis akan menerima
dalam jangka panjang bahkan jika semua perusahaan mengalami pengembalian
ke skala konstan, semua pasar kompetitif, dan tidak ada hambatan
untuk masuk. Sedangkan teori neoklasik memprediksi mereka akan menerima
sewa dan kuasi, sewa yang sama dengan produk pendapatan marjinal tanah
subur dan mesin pembuat sepatu, menyediakan tanah dan mesin pasar
kompetitif, dan untung rata - rata dalam jangka panjang nol. Model
Sraffa tergantung pada daya tawar ada banyak berbagai kemungkinan
kombinasi sewa, laba, dan upah yang layak dalam perekonomian tertentu.
Menurut
model Sraffa produktivitas dari ekonomi menentukan ukuran surplus yang
tersedia saat tenaga kerja diterapkan, karenanya, upah, sewa, dan laba apa yang
bisa dijumlahkan secara total; tapi bagaimana surplus dibagi ditentukan
oleh daya tawar relatif pekerja, tuan tanah, dan kapitalis, yang pada
gilirannya ditentukan oleh sejumlah faktor. Begitu jika daya tawar pemilik
tanah, pemilik mesin, dan pekerja adalah cukup tinggi, keuntungan
kapitalis mungkin nol. Itu hanya akan terjadi terjadi jika kapitalis tidak
memiliki posisi tawar sama sekali. Penggguna pendekatan surplus
percaya bahwa banyak kemungkinan adalah keuntungan akan positif dalam
jangka panjang, bahkan dengan pengembalian konstan ke skala dan dalam
kondisi kompetitif karena kapitalis tidak berdaya dan karenanya akan
mengambil bagian dari surplus yang dihasilkan, meninggalkan sewa dan /
atau upah menjadi kurang sesuai.
Piero
Sraffa dalam bukunya Production of
Commodities by Means of Commodities (1960). Karya Sraffa ini pada
dasarnya merupakan kritik atas ekonomi marjinalis neoklasik, yang berpendapat
bahwa proses distribusi pendapatan dapat diisolasi semata dalam relasi pasar
(Dobb 1970). Dengan menggunakan model input-output (seperti Bortkiewicz),
Sraffa membuktikan secara matematis bahwa harga komoditas juga sangat
dipengaruhi oleh keberadaan ranah produksi. Walau terdengar identik dengan
posisi Marx, pembuktian yang dilakukan Sraffa juga menjadi kritik fundamental
terhadap teori nilai kerja Marx, walau tidak dilakukan secara eksplisit. Model
Sraffa memberikan justifikasi bahwa tidak ada relasi yang pasti antara besaran
fisik komoditas beserta harganya dengan nilai (Mandel 1984). Menurut
Lopes (2011), Dalam sraffa sistem nilai berbeda dari sistem produksi
harga. Perbedaan ini terkait dengan kriteria distribusi nilai lebih. Dalam
sistem nilai, kriterianya adalah ukuran kapital variabel (surplus di distribusikan
dalam proporsi terhadap jumlah pekerja di tiap sektor), sementara dalam sistem
produksi harga, surplus jumlah kapital variabel dan kapital konstan berlaku
sebagai parameter distribusi surplus. Di sini, Sraffa mengembalikan proposisi
teori nilai yang pernah dibangun David Ricardo, dimana distribusi harga dan
pendapatan dipahami sepenuhnya dalam ekspresi material kuantitas komoditas dan
kerja. Dalam hal inilah Sraffa menjadi salah seorang proponen utama tradisi
pemikiran Neo-Ricardian.
Neo-Ricardian
lainnya yang melakukan kritik eksplisit terhadap Marx beserta asumsi teoritis
teori nilai kerjanya adalah Ian Steedman. Dalam bukunya Marx after
Sraffa, Steedman berpendapat bahwa sistem analisa kuantitas yang dikemukakan
Sraffa menyediakan determinasi yang tepat bagi tingkat keuntungan dan harga
produksi dibandingkan model ekuilibrium yang ditawarkan Marx (Mumy 1979).
Implikasi ini bagi Steedman, adalah terbukanya kemungkinan untuk menjelaskan
tingkat keuntungan dan harga produksi pada kuantitas komoditas dan upah, tanpa
harus menjelaskan terlebih dahulu nilai kerja dalam proses produksi. Dalam hal
ini, Steedman menyatakan suatu kritik redundansi bahwa penggunaan teori nilai
kerja dalam pengukuran tingkat keuntungan adalah berlebihan, dan karena itu
teori nilai kerja tidak lagi relevan dalam menjelaskan ekonomi kapitalisme.
TEORI NEOKLASIK
Teori Neoklasik
didefinisikan sebagai suatu organisasi sebagai kelompok dengan tujuan bersama.
Bila pada teori klasik banyak menitik beratkan pembahasannya pada struktur,
tata tertib, organisasi formal, factor-faktor ekonomi dan rasionalitas tujuan
sedangkan teori neoklasikbanyak menekankan pentingnya aspek social dalam
pekerjaan atau organisasi informal dan aspek psikologis (emosi). Aliran yang
berikutnya muncul adalah aliran Neoklasik disebut juga dengan “Teori Hubungan
manusiawi”. Teori ini muncul akibat ketidakpuasan dengan teori klasik dan teori
merupakan penyempurnaan teori klasik. Teori ini menekankan pada pentingnya
aspek psikologis dan social karyawan sebagai individu ataupun kelompok kerja.
Ekonomi neoklasik adalah istilah yang digunakan untuk
berbagai pendekatan untuk ekonomi berfokus pada penentuan harga, output, dan
pendapatandistribusi di pasar melalui penawaran dan permintaan, sering
dimediasi melalui maksimalisasi hipotesis utilitasdengan pendapatan terbatas
individu dan darikeuntungan dengan biaya terbatas perusahaan yang menggunakan
informasi yang tersedia dan faktor-faktor produksi, sesuai dengan teori pilihan
rasional. Ekonomi neoklasik bertumpu pada tiga asumsi, meskipun cabang-cabang
tertentu dari teori neoklasik mungkin memiliki pendekatan yang berbeda:
1.
Orang-orang memiliki preferensi rasional antara hasil yang dapat diidentifikasi
dan terkait dengan nilai.
2. Individu
memaksimalkan utilitas dan perusahaanmemaksimalkan keuntungan .
3. Orang
bertindak independen atas dasar informasi yang lengkap dan relevan.
TEORI KARL MARX
Semenjak
kemunculan teori neo klasik, pemikiran Marx memang tidak bebas dari penolakan
para pemikir. Bahkan, teori yang dikembangkan oleh Marx ini juga mendapatkan
penolakan dari kaum sosialis sendiri, dan ditambah dengan penolakan dari kaum
liberal-kapitalis.
Menurut
Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis upah buruh yang tepat ditentukan oleh cara
yang sama. Upah buruh adalah imbalan atau pembayaran bagi tenaga kerja buruh.
Tenaga kerja buruh diperlakukan persis sebagai komoditi. Seperti seorang
penjual menjual hasil kerajinan tangannya di pasar, buruh menjual hasil
kerajinan tangannya di pasar, buruh menjual tenaga kerjanya kepada yang mau
membelinya. Bagaimana nilai (tukar) tenaga kerja buruh ditentukan secara
objektif ?
Nilai
tenaga kerja sama seperti nilai setiap komoditi yang ditentukan oleh jumlah
pekerjaan yang perlu untuk menciptakannya. Maka nilai tenaga kerja adalah
jumlah nilai semua komoditi yang perlu dibeli oleh buruh agar ia dapat hidup,
artinya agar ia dapat memulihkan tenaga kerjanya serta memperbaharui dan
menggantikannya ketika tidak dapat bekerja lagi. Dengan kata lain, nilai tenaga
kerja buruh adalah jumlah nilai makanan, pakaian, tempat tinggal, dan semua
kebutuhan hidup buruh dan keluarganya, sesuai dengan tingkat sosial dan
kultural masyarakat yang bersangkutan. Kesimpulan teori nilai tenaga kerja itu
adalah bahwa upah yang wajar, maksudnya buruh mendapat yang senilai (equvalent) dengan
apa yang diberikannya, jadi sesuai dengan hukum yang berlaku di pasar, yang
mencukupi buruh untuk dapat memulihkan tenaga kerja.
Maka
menurut Marx upah yang diterima buruh adil dalam arti bahwa transaksi antara
majikan dan buruh berupa pertukaran equvalent (diberi
imbalan sesuai dengan hukum pasar). Jadi Marx mengasumsikan ini dalam situasi
dan kondisi biasa. Upah buruh pun biasa, sesuai dengan harganya. Selain
itu Marx mengemukakan bahwa nilai komoditas sepadan dengan input tenaga kerja,
hanya tenaga kerja yang dapat menghasilkan laba. Namun bagi Neo - Klasik, teori
nilai kerja Marx tidak mampu menggambarkan secara jelas mengenai nilai suatu
komoditas. Dengan pendekatan marginal, Neo-Klasik mengatakan bahwa faedah suatu
komoditas akan semakin menurun dengan semakin banyak terpenuhinya kebutuhan akan
komoditas itu.
Dengan
analisisnya, Martin membuktikan bahwa dari berbagai macam teori nilai yang ada,
teori nilai Marx yang paling eksplanatoris dalam menjelaskan persoalan nilai,
dan kapitalisme itu sendiri. Maka, alih-alih menjadi teori yang usang, marxisme
adalah teori yang paling mumpuni dalam menjelaskan fenomena ekonomi yang saat
ini terjadi. Berbeda dengan semua ekonom klasik sebelumnya, Karl Marx
memulai analisis tentang nilai dengan mereduksi aspek-aspek nilai menjadi
analisis terhadap aspek-aspek kerja. Marx kemudian memilah dua bentuk kerja:
kerja konkret dan kerja abstrak. Kerja konkret adalah kerja berguna (useful
labour) atau kerja yang menghasilkan nilai pakai suatu barang. Sedangkan
kerja abstrak adalah tenaga kerja atau daya kerja manusia terlepas dari
produksi barang dengan kegunaan tertentu. Komoditas yang tidak diproduksi
mengindikasikan adanya struktur pembagian kerja dalam masyarakat, yaitu
saat terjadinya pemisahan antara produsen dan sarana produksi yang muncul dalam
relasi kerja-upahan (wage labour).
Farjoun, E., &
Machover, M. (1983). Law of Chaos: A Probabilistic Approach to Political
Economy. London: Verso Book.
Hahnel, R. (2002).
The ABCs of Political Economy. UK: CPI Antony Rowe.
Komentar
Posting Komentar